🌙 Aku Merah Putih Yang Berselang
Kemudiandia mengikatkan bendera Merah Putih di ujung bambu. “Aku memang tak sempat melihat perjuangan para pahlawan kita terdahulu. Tapi aku merasakan apa yang mereka (pahlawan-red) rasakan, bagaimana mempertahankan negeri ini,” kata Wak Olon, lagi-lagi sambil berjalan ke depan rumahnya untuk memasang tiang bendera terbuat dari bambu itu.
Sebuah video viral di media sosial memperlihatkan bendera merah putih berselang-seling.. Video itu diunggah oleh akun Instagram ini pada Jumat (5/8/2022).. Disebutkan, lokasi pengambilan video ada di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. "Kaget aja, pas mau ke kantor, lihat bendera warnanya selangseling, sontak langsung saya
kak,bangun dong,,gak kangen main sama aku ya?”.suara ini sangat aku kenal,, perlahan aku mendengar banyak suara,suara tangis,suara lemah dan lelah,ya,aku berhasil menemukan suara yang menandakan aku tak sendiri lagi,aku robek bayangan hitam itu dank u temukan aku berbaring,disampingku ada adik,ayah,mamah,Hilda, dan kupastikan laki-laki
Sayatetap menolak meski menyakitkan menghadapi amarah dari orang yang sebetulnya sangat kusayangi. Saya kecewa dengan mereka. Reaksi keluarga pria tersebut tidak kalah menyeramkan ketika mendengar jawaban lamaran dari saya, mereka memaki saya dan mengatakan saya cewek sarjana yang tidak tahu diri, sarjana tidak tahu sopan santun.
Limatahun berselang, skuad Merah Putih kembali mencicipi aroma final Piala AFF. Lawannya kali ini adalah Thailand, yang pernah tiga kali "menghabisi" Indonesia. Thailand, yang dipoles Alexandre Polking, lolos ke babak final usai menyudahi perlawanan juara bertahan Vietnam. Agregatnya 2-0.
Teruswaktu di sana aku ngerasa kok aku lebih nyaman pakai kerudung,' ungkap Aurel Hermansyah 'Jadi waktu SMA, aku umrah bareng sama Pipi sama Bunda. Terus waktu di sana aku ngerasa kok aku lebih nyaman pakai kerudung,' ungkap Aurel Hermansyah. Jumat, 17 Juni 2022; Cari. Network. Tribunnews.com; TribunnewsWiki.com;
yaaku tau aku yg salah tapi kan aku ga tau kalo semua itu bakal terjadi wong aku juga manusia biasa ya udahlah berselang beberapa bulan sebelum taun baru 2014 eehh denger denger dia udah ada yang baru sontak aku berkata dalam hati Di Timnas U-18, ia ikut membawa Merah Putih meraih peringkat kelima turnamen pelajar di Iran. Ravi memiliki
Inipenerbangan terlalu yang pernah aku rasain. TIGA JAM DUA PULUH MENIT. Alhasil aku berhasil menyelesaikan dua film trilogi dari Merah Putih. Itu lo yang pemainnya Donny Alamsyah, pas banget waktu itu dia berperan sebagai pejuang yang berasal dari Manado, kota yang bakalan aku kunjungin sekarang.
Olehkarena itu, anak cucu Adam hadir sesuai keadaan tanah (warna dan tabiatnya), maka di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam dan antara itu. Ada pula yang lunak, keras, yang jelek dan yang baik.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hadis ini hasan shahih.” Tak lama berselang, aku mendengar Rasulullah melarang kaum muslimin
. The Secret mungkin menjadi satu-satunya kunci berpengaruh dalam hidupku selain Chicken Soup for The Soul nan dihadiahkan dua orang suhu kapan aku iteratif waktu keenam belas, panca hari nan dahulu. Bukunya tertinggal. Intinya hanyalah kita menyedot segala yang kita pikirkan. The law of attraction makin tepatnya. Hukum duaja yang membuatku mengingat-ingat bahwa hidupku berubah karena akulah nan menginginkannya. Apa yang berubah dari hidupku bukan sekadar tentang realita yang tidak karuan apalagi mimpi yang sebatas ekspektasi. Aku bermimpi, iya. Aku bercita-cita, tentu cuma. Realitanya? Apakah mimpiku terwujud? Kebaikan hati hati. Itu merupakan muslihat dari terwujudnya sebuah damba ataupun enggak. Terkirakan lebih bermula jumlah jari kedua tangan dan kakiku, kulakukan sesuatu yang menjadi etiket, kemampuan serta nan menjadi alasan mengapa aku dibutuhkan di gelanggang itu. Sayangnya semuanya kulakukan terpaksa, tanpa didasari kebaikan hati hati. Iya, aku tidak steril. Aku terpaksa karena bukan cak semau pilihan cak bagi tidak melakukannya . Kelihatannya aku lagi melakukannya karena ada egoisme sesaat. Kesannya? Gagal, bahkan buat mencapai prospek sukses terkecil. Sebelum luang buku itu, jelas aku frustasi. Hingga akhirnya, hadir seseorang yang kuanggap sebagai kakak. Sosok yang memberiku perhatian lebih terbit yang pernah kubayangkan. Cucu adam nan tahu kegelisahanku dan sosok yang seringkali kujadikan sandaran detik aku mulai terbang arwah. Cucu adam yang dapat kuhubungi cepat selain keluargaku. Sederhananya, dari sosok itulah aku mengenal buku itu. “Vio adv pernah menara tertinggi di manjapada?” “Nggak.” “Tahu di mana tempatnya?” Aku menggeleng. “Dubai. Namanya Burj Khalifa.” “Mbuk sempat ke sana?” Yunda menganggut. Silam dijelaskannya bahwa dulu musim kecil, mbak gayutan membuat clipping dari surat kabar tentang menara terala di dunia. Sediakala-awal panggar itu dibangun. Uni bukan ingat di mana tempatnya, teteh juga tidak ingat persis bagaimana bentuknya. Kakak hanya menempelkan clipping berajah menara itu dan bertekad satu detik boleh ke sana. “Rasanya musim berada di tempat itu, kakak merasa familiar. Ternyata, menara yang begitu juga clipping yang koneksi mbakyu tempel di apartemen,” ujarnya sewaktu terkekeh. “Oh iya? Hebat! Kok bisa?” “Itu namanya hukum tarik menghela. Vio mau tahu lebih jauh?” Konversasi tunggang itu adalah tadinya aku memutuskan mendaras buku nonfiksi selain Chicken Soup for the Soul yang menurutku sudah pas menginspirasi. Awalnya jelas aku tidak percaya. Akan saja, cerita inspiratif yang hadir di tiap lembar buku itu membuatku cak hendak merasakan realita nan boleh diciptakan sekadar berbunga pikiran. Langkah pertamaku saat itu adalah membuat daftar kerinduan, sesuatu yang tekun ingin kulakukan sejauh ini. Dua diantaranya adalah masuk 10 ki akbar peringkat tertinggi di jurusan IPA dan menciptakan menjadikan karya tulis minimum satu biji pelir selama 3 tahun masa SMA. Bukan sekadar keinginan, aku juga membuat gubahan cara meraih dan keterangan apakah berhasil dicapai atau enggak. Introduksi kuncinya “Victory”. Aku berhasil. Berselang bilang bulan, kedua keinginanku berisi siaran victory, dan terlebih di atas ekspektasi nan kontak kukalkulasikan sebelumnya. Saat itu, aku ingat. Barangkali bermartabat jika sesuatu terjadi karena aku menginginkannya dan bisa terwujud pangkal keinginan tersebut murni dari hati. Secara drastis, kehidupanku berubah ke arah nan makin baik. Aku timbrung banyak lomba, menderma cukup prestasi hingga menghasilkan tabungan sendiri. Kendati saat itu aku masih belum sepenuhnya bisa membedakan yang mana keinginan nan tulus dan nan mana bersendikan egoisme. Saat aku terbutakan ego, kakak kandungku rangkaian berkata, “Luh Tu panggilanku, nggak menjuarai karena Tuhan kasihan, lho. Kemarin, Luh Tu kan bilang sudah penat, makanya Sang pencipta nggak ngasih Luh Tu pemenang meski Luh Tu juga bisa istirahat. Kalau Luh Tu sudah lalu enjoy, karuan dikasih urut-urutan lain kok.” Saat itu, aku menirukan lomba karya inovasi yang bertujuan membantu penanganan limbah patra yang diselubungi prestise dan pamor. Aku akui, keinginanku mengimak lomba itu kalis karena komisi. Padahal, keinginan nan tulus itu dekat dengan Tuhan. Jika memang asli, individu karuan diberi perkembangan. Tuhan sekali lagi Maha Konotasi. Jadi, akupun mengerti bahwa momen itu aku gagal karena memang tidak tulus untuk berinovasi ataupun mendukung penanganan limbah nan sebenarnya. Masalah ambisiusme nan berbuah kegagalan terakhiri, masalah enggak pun datang. “Mau makara segala apa? Mau kuliah di mana?”Sungguh soal stereotipe. Mau jadi apa jelas bertanya adapun cita-cita. Bagiku, tidak ada cita-cita yang makin mulia dari seorang hawa. Lain hanya menjadi pelita yang permulaan, guru jugalah nan membuatku mengenal luasnya sukma di dunia. Makanya, aku ingin menjadi suhu. Apalagi, suhu-temperatur itu mutakadim menunjukkan bahwa kebanggaan terbesar mereka adalah ketika melihat anak didiknya tumbuh. Cak agar tiada, rasa kagumku pun bukan pernah memasap. Namun, cita-cita dan medan kuliah belalah tidak serentak. Syarah selalu dekat dengan jurusan dan jurusan dekat dengan pegangan. Akibat permohonan, yang terangan-angan olehku tentang kuliah ialah mencuil gelanggang dengan pengalaman yang membuatku lebih mudah bagi menggaji hutang lega ibu bapak, keluarga, dan rakyat Bali yang menghidupi dan membiayai pendidikanku dari SD hingga SMA. Maklum, aku gegares roh dari dana siswa. Sejak ayahku meninggal, tiada lagi yang dapat menyokong keuangan keluarga kecuali berwarung es lilin sewaktu berseragam salih berma dulu. Masalahnya, detik itu galau menjadi tabu. Sejak SMA, persepsiku tentang suhu semakin meluas. Guru tidak hanya basyar pengajar, suhu ialah semua nan boleh memberi apa yang dimiliki dan berbuat demi kekuatan dan kemajuan bangsa. Insinyur, pemerintah hingga petugas kebersihan pun master. Di sore yang berbeda, aku kembali menitikkan hati. “Coba belaka, Vi. Kadang kita lain harus memaksakan diri mencapai sesuatu karena semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Bapak Gubernur saja latar belakangnya polisi, teko? Sampai-sampai beliau dulu sparing mengaryakan potlot lidi dan bungkus rokok untuk batik. Kalau mau lebih mudah, coba visualisasikan. Ibarat melukis sesuatu yang ingin dia tatap, ataupun batik tempat yang mau sira temui juga bisa. Dengan semacam itu, kamu bisa melihat mimpimu dengan lebih jelas serta adv pernah arahnya ke mana” Aku tercerahkan. “Aku mau ke ITB. Aku ingin menjadi engineer yang menghentikan Indonesia berusul penjajahan asing.” Sopan, aku mengalami pertambahan mimpi. Pecah sendiri guru pendidikan menjadi koteng engineer. Kutuliskan sekali pun, bagiku guru yakni semua nan mengabdi. Selama sebulan kuikuti saran ayunda angkatku yang juga diambil dari buku The Secret. Kuganti background netbook-ku dengan Plaza Widya eksemplar dengan Indonesia Terbenam-nya. Kubayangkan setiap malam bahwa aku mewah di kancah itu tanpa luang sekalipun bersusila-benar ke sana. Terus kulakukan hingga lilin lebah manifesto SBMPTN juga tiba. Pagi-pagi, pamanku heboh membaca koran lampau berkoar ke seluruh tetangga. Ibu mempersunting kebenaran dan aku menganggut mengiyakan. “Bagaimana dengan biayanya?” Enggan kujawab pada Ibu karena uang pensiunan ayah yang mensponsori umur kami bahkan tidak sampai sepersepuluh uang lelah semesterku. “Aku tentu boleh beasiswa. Aku kan berisi dan di sana pula banyak teman. Jadi, biarkan aku berangkat, Bu. Ibu cukup mendoakan berbunga sini doang.” Ibu menangis dan aku nekat. Ditemani kakak kandungku, aku mulai. Melamar bilang beasiswa, setakat di Oktober 2022, mualamat bidik misi tahap dua pun keluar. Aku lolos sebagai keseleo satu penerimanya. “Ibu, sepertinya hutangku plong rakyat lebih banyak.” “Kalau semacam itu, cepatlah jadi pegawai negeri cak agar bisa serempak bertuankan.” Aku tertawa mendengar kelakar Ibu saat aku pulang dua periode yang lalu. Intensi Ibu, agar tahun tua tidak bimbang menimang biaya lagi; sudah terserah tunjangan dan pensiunan. Tentu semata-mata, aku pasti mengabdi. Sreg Halikuljabbar, Bangsa, dan almamater serta anak bini, yang mana tahu dimulai dengan retorika dibumbui empati sore-sore itu. Aku harus berterima anugerah plong kakak angkatku
aku merah putih yang berselang